Taipei, 20 Mar. (CNA) Otoritas imigrasi Taiwan dan Kementerian Tenaga Kerja (MOL) akan menangkap pekerja migran Indonesia (PMI) yang dibayar sebagai penghulu dalam pernikahan siri yang kerap diadakan pekerja migran itu sendiri, ujar Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Arif Sulistiyo dalam wawancaranya bersama CNA.
Arif dalam kata sambutannya di kegiatan buka puasa masyarakat Indonesia bersama KDEI pada 14 Maret menyampaikan bahwa pihak imigrasi Taiwan menghubunginya untuk menjelaskan rencana mereka yang akan menangkap para penghulu nikah siri, dikarenakan tidak sesuai dengan kontrak kerjanya sebagai PMI.
Saat diwawancarai CNA, Arif menceritakan bahwa saat ia datang ke panti asuhan Harmony Home ada 140 bayi dan anak-anak yang ditinggal orang tuanya. Ia pun melakukan penelusuran bersama tim dan pihak imigrasi Taiwan, dan hasilnya ternyata ada kaitan dengan pernikahan siri yang sering dilakukan di Taiwan.
Dalam pernikahan siri, banyak bayi yang dilahirkan, tetapi ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya dan diberikan kepada panti Harmony, ujar Arif.
Setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, ujar Arif kepada CNA, ia menemukan para PMI yang menyelenggarakan pernikahan siri tersebut membayar rekan-rekan PMI sendiri yang berprofesi sebagai penghulu.
“Bayarannya pun sangat fantastis, ada yang sekitar NT$10.000-NT$20.000 (Rp4.998.179-Rp9.996.359), bahkan lebih. Nah ini kontraknya tidak sesuai dengan job (pekerjaan)-nya sebagai PMI. Pihak imigrasi ingin menertibkan hal ini karena dinilai melanggar hukum mendapat uang di luar job kerjanya. Namun saya bilang tahan dulu, saya perlu informasikan kepada teman-teman PMI,” ujar Arif.
“Setelah kami mengumumkan pemberitaan ini dan masih saja ada oknum-oknum yang tetap menyelenggarakan nikah siri, ya silakan ditangkap. Siapa pun yang memfasilitasi pernikahan siri seperti itu, yang tidak sesuai dengan izin kerjanya, melanggar aturan keimigrasian dan Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) akan ditangkap dan dideportasi ke Indonesia,” sambungnya.
Hal senada juga diungkapkan Fajar, ketua serikat Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS). Dalam wawancaranya bersama CNA, ia menyatakan nikah siri tidak melanggar hukum Islam selama memenuhi persyaratan.
Namun, ujarnya, jika ada nilai bisnis didalamnya, ada transaksi ekonomi atau ada pihak yang mendapatkan pendapatan dari aktivitas nikah siri dan mereka berstatus PMI -- penghulu, penyelenggara acara, hal itu bisa dikategorikan sebagai kerja di luar job.
Hal ini adalah pelanggaran keimigrasian dan sanksi adalah deportasi serta cabut izin kerja, menurut penjelasan Fajar kepada CNA.
Ia juga mengatakan jika PMI tersebut memang sama-sama bertujuan untuk menikah, lebih baik mengucap janji secara hukum atau pernikahan yang diketahui negara, untuk melindungi suami-istri melalui hukum.
Misalnya, kata Fajar, tentang ahli waris bisa dibuktikan melalui surat nikah yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Indonesia.
“Untuk nikah siri tentu ada batasannya. Kami juga sering menerima pengaduan bagaimana ibu-ibu migran baik yang berstatus PMI resmi atau tak berdokumen yang kebingungan untuk pengasuhan putra putri mereka. Hal tersebut dikarenakan tanpa ada ikatan nikah resmi, kekhawatiran pulang ke kampung halaman dengan membawa anak tanpa identitas yang jelas. Bahkan ada pengaduan adanya anak-anak yang ditinggalkan bapak ibunya dan tanpa identitas,” kata Fajar.
“Dan anak-anak ini juga tidak jelas kewarganegaraannya nanti,” sambungnya.
Fajar menjelaskan bahwa saat ini di Taiwan untuk hak maternitas sudah banyak perbaikan termasuk memperbolehkan PMI hamil dan melahirkan di Taiwan. Apabila dari pasangan nikah resmi, lanjutnya, hukum negara tentu juga memberi pelindungan yang lebih baik bagi putra-putrinya nanti.
“Kami berharap dari KDEI juga memberikan relaksasi bagi PMI tak berdokumen atau kaburan agar mereka bisa melakukan pernikahan secara resmi di Taiwan,” cermat Fajar.
Melalui CNA, Fajar mengemukakan harapannya agar KDEI memberi alternatif bagi PMI yang sudah atau telah melakukan nikah siri dengan memberi solusi agar mereka bisa melegalkan pernikahan mereka dimata negara.
“Sebab seperti apapun mereka juga sebagai berstatus warga negara Indonesia (WNI) yang punya persamaan hak dimata hukum Indonesia dalam hal ini kaitan dengan pernikahan,” sambung Fajar saat diwawancara CNA melalui telepon genggamnya.
Selesai/JC