Jakarta, 4 Des. (CNA) Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menegaskan hak konstitusional bagi pelaut migran yang dilindungi dalam Undang Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) setelah mereka menolak permohonan uji materi Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI pekan lalu.
Dalam pernyataan yang diterima dari Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), putusan ini menegaskan hak konstitusional pelaut migran, baik itu awak kapal niaga maupun awak kapal perikanan, untuk mendapatkan pengakuan hukum dan pelindungan dari negara sebagai bagian dari pekerja migran Indonesia.
MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa dalil pemohon mengenai norma Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang tidak mengatur kategori Pekerja Migran Indonesia ke dalam dua jenis, yakni pekerja migran berbasis darat dan laut, tidak beralasan menurut hukum.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Hakim Ketua MK Suhartoyo, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (29/11).
Sebagai pihak Terkait dalam perkara ini, enam serikat pekerja dan tiga kelompok masyarakat sipil, yang tergabung dalam TAPMI mengapresiasi putusan MK tersebut.
“Kami mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang telah melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan konklusif sekaligus menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan hak asasi manusia Pelaut Migran dengan mengukuhkan norma Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017” ujar Kuasa Hukum TAPMI, Harimuddin, S.H.
Sesuai UU PPMI, tata kelola pelindungan pelaut migran harus menjamin penyelenggaraan pelindungan sejak sebelum, selama, hingga setelah bekerja.
"Putusan MK ini memperjelas kedudukan bahwa Pelaut Migran merupakan Pekerja Migran Indonesia yang telah diatur pada rezim regulasi ketenagakerjaan UU 18/2017. Selain itu, Putusan MK ini memberi kejelasan kedudukan Pelaut Migran dalam hukum internasional terutama dalam pelindungan Konvensi PBB tentang Pelindungan Buruh Migran dan Keluarganya.
Dalam sebuah putusan, MK menandakan berakhirnya dualisme dan ego sektoral antar kementerian yang mengorbankan dan membiarkan banyak Pelaut Migran bekerja tanpa pelindungan sejak dua dekade terakhir." ujar Juwarih, selaku Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dipertahankannya ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sejalan dengan norma hukum internasional, diantaranya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW), kata TAPMI.
Ketentuan pelindungan pelaut migran dalam UU PPMI dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 menjadi praktik baik dalam mengharmonisasikan standar-standar pelindungan dalam ICRMW, Work in Fishing Convention (C-188), dan Maritime Labour Convention.
“Kepastian atas status hukum pelaut migran ini harus diterjemahkan dalam perumusan dan implementasi kebijakan yang konkret dalam melindungi pelaut kita di setiap tahapan migrasi,” kata Syofyan, Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI).
Langkah ini meliputi kebijakan di tingkat nasional, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan desa, ratifikasi ILO C-188 dan penguatan implementasi MLC 2006, serta pengembangan perjanjian bilateral, kata TAPMI.
TAPMI menyebut, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bertanggung jawab melanjutkan momentum ini dengan memimpin dan/atau mengoordinasikan penetapan dan evaluasi kebijakan di berbagai tingkatan pemerintahan untuk mewujudkan pelindungan pelaut migran secara menyeluruh.
Selesai/JA