Khaeri (37) seorang anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja selama tujuh bulan di Penghu harus menghadapi kenyataan pahit pulang ke Indonesia setelah mengalami pertikaian dengan majikannya pada Oktober 2023 silam.
Saat dihubungi CNA, Khaeri yang sudah berada di Indonesia dan bekerja sebagai petani garam ini masih mengingat kasusnya dulu. Ia mengatakan bahwa waktu itu ayah dari majikannya memukul bahu kanannya dengan sebatang besi, hingga ia mengalami luka memar.
Khaeri juga mengatakan, ia telah mengadukan kasusnya pada layanan pengaduan ketenagakerjaan KDEI. Pihak KDEI pun menghimbau Khaeri untuk melakukan visum, tetapi ia menolak melakukannya dikarenakan alasan tidak mempunyai uang.
Berdasarkan pengakuannya, setelah kasus tersebut, Khaeri diminta tinggal dengan agensinya. Ia juga beberapa kali melakukan mediasi bersama dengan pihak KDEI, Depnaker Penghu serta pemberi kerja. Ia mengingat bahwa saat itu Khaeri tidak mempunyai bukti kuat terkait penganiayaannya. Ditambah lagi, rekan-rekan yang saat itu menjadi saksi, tidak mau berkomentar panjang lebar mengenai kasusnya.
Khaeri pun memutuskan untuk berdamai dengan majikannya. Pada tanggal 4 Oktober, ia memutuskan kembali ke Indonesia. Khaeri mengatakan bahwa kepulangannya saat itu mendapat kompensasi penggantian biaya pesawat dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Pemberi kerja juga memberikan bonus sebesar NT$6.000 (Rp2,8 juta).
Dalam wawancaranya bersama CNA, Khaeri menyatakan bahwa hanya klaim dari BPJS TK saja yang ia dapat, sedangkan tuntutan pengajuan klaim penganiayaan belum direspons. Khaeri sebelumnya telah meminta ganti rugi sebesar NT$150 ribu, dan Depnaker setempat menjanjikan bahwa ia harus menunggu empat sampai lima bulan. Akan tetapi hingga berita ini dirilis, Khaeri masih belum menerima sepeser pun biaya ganti rugi tersebut.
Khaeri juga menuturkan bahwa pekerjaannya bukanlah murni sebagai ABK yang berlayar mencari ikan, melainkankan ia ditempatkan sebagai petugas pengedokan kapal.
“Kapal tempat saya bekerja dulu itu rentan terhadap penganiayaan,” ujarnya menuturkan pada CNA.
Saat ditanya apa Khaeri masih mau lanjut bekerja di Taiwan jika ada kesempatan, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya ia masih mau bekerja di Taiwan tetapi bukan sebagai ABK, melainkan sektor perkebunan.
“Proses menjadi ABK dulu saya harus membayar Rp 12,5 juta dengan jaminan sertifikat rumah dari penyalur di Jakarta. Padahal waktu itu BP2MI mengatakan untuk ABK biayanya gratis. Sekarang saya tidak ada modal untuk kembali menjadi PMI.” Ujarnya.
“Saya ingin sekali kembali ke Taiwan karena masih banyak teman-teman PMI yang perlu dibantu terutama daerah Penghu sangat rawan dengan penganiayaan dan pekerjaannya tidak sesuai kontrak,” tambah Khaeri.
Sehubungan dengan penggantian biaya pemulangan Khaeri, CNA menghubungi perwakilan BPJS Ketenagakerjaan yang berdomisili di Taipei. Pihak BPJS TK membenarkan bahwa pihaknya mendapat aduan klaim dari Khaeri pada Oktober lalu, dan telah dipastikan bahwa Khaeri juga telah menerima biaya penggantian pesawat.
Biaya penggantian pesawat diberikan oleh BPJS TK dikarenakan yang bersangkutan mengalami permasalahan kerja. Bantuan pemulangan biaya transportasi PMI bermasalah mendapat manfaat senilai maksimal Rp15 juta, ujar perwakilan BPJS TK.
Perwakilan BPJS juga mengingatkan para pekerja migran untuk menghubungi nomor telepon BPJS Ketenagakerjaan 0905146804 jika terjadi kecelakaan kerja maupun untuk sekadar memastikan keaktifan kepesertaannya, ujar perwakilan di jalan Ningxia Taipei kepada CNA.
Selesai/IF